30 Januari 2008

BUDAYA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK

Sinyalemen terhadap ketidak berdayaan administrasi negara melalui
birokrasinya dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik
sudah dirasakan sejak lama. Kondisi semacam ini dalam perdebatan administrasi
negara sering disebut sebagai “Krisis Identitas” yang mempertanyakan
kecenderungan peran dan posisi administrasi negara sebagai ilmu (science)
ataukah sebagai praktek (art). Kesan semacam ini didukung oleh adanya fakta
tumpang tindihnya antara posisi peran ilmu politik (ilmu pemerintahan) dan
ilmu ekonomi (ilmu manajemen) dengan ilmu administrasi dalam praktekpraktek
administrasi negara yang terkesan bersifat legal formal, spesifik,
bernuansa budaya sentris, sampai dengan anggapan bahwa administrasi negara
tidak memiliki persyaratan ilmiah dan teoritisasi yang sifatnya berlaku umum.
Oleh karena itu Robert Dahl (1947) menyarankan adanya studi perbandingan
administrasi negara (atau studi perbandingan birokrasi) yang mampu
melakukan terobosan, terutama dalam menjawab tantangan-tantangan
pembangunan yakni masalah kemiskinan dan ketidak adilan sosial, terutama
yang terjadi dinegara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Produk
dari pemikiran ini, kemudian berkembang dan melahirkan paradigma
administrasi pembangunan (development administration paradigm) yang
dibentuk oleh Ikatan Sarjana Administrasi Pembangunan Asia di Teheran (1966)
yang bergerak dalam bidang penyempurnaan administrasi negara di wilayah
timur. Salah satu orientasinya adalah bagaimana administrasi negara mampu
mengembangkan dirinya dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan,
terutama dalam hal pelayanan publik yang dapat dipertanggung jawabkan
(responsebelity), memiliki daya tanggap yang kuat (responsivity) dan mampu
mewakili kepentingan masyarakat (representativity) berdasar ketentuan hukum
dan aturan yang berlaku dengan pancaran hati nurani (akuntabelity) . Oleh
sebab itu, pergeseran pemikiran administrasi semacam ini seharusnya tidak
hanya membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur, fungsi, finansial
dan personalia dari organisasi birokrasi itu saja, tetapi yang lebih penting
bagaimana perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia organisasi
birokrasi mampu diikuti oleh perubahan kultur organisasi birokrasi dan
perilaku manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Apabila perubahan ini
dapat terwujud, maka apa yang diharapkan dalam orientasi efektivitas
pelayanan publik, Insyaallah akan dapat tercapai.

B. Adakah Teori Pelayanan Publik ?
Jika pelayanan publik sebagai produk dari orientasi pemikiran administrasi
pembangunan, dan administrasi pembangunan sebagai orientasi baru dari

reformasi administrasi negara; maka muncul pertanyaan, adakah teori khusus
yang berkaitan dengan pelayanan publik ?
Gerald Caiden (1986) sebagai seorang pakar administrasi negara pernah
menyindir tentang keberadaan teori administrasi negara ini. Menurut Caiden,
administrasi negara itu terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun
yang dapat diberlakukan secara umum dari administrasi negara. Hal yang
bernada sama pernah disampaikan pula oleh Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel
Heady (1966) yang mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori
administrasi negara yang dianggapnya tidak jelas metodologinya.
Dipihak lain, dalam beberapa literatur pelayanan publik lebih dikenal
sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori (Thoha,1992; Munafe,1966;
Djumara,1994; Hardjosoekarso, Kristiadi dan Saragih,1994). Oleh karena itu
istilah pelayanan publik disebut juga dengan istilah pelayanan kepada orang
banyak (masyarakat), pelayanan sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima.
Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya kerancuan ontologis (apa,
mengapa), epistemologis (bagaimana) dan axiologis (untuk apa) dalam
memperbincangkan teori yang berkaitan dengan pelayanan publik ?
Secara ideal, persyaratan teori administrasi yang menyangkut pelayanan
publik antara lain :
1. Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat
diterapkan pada situasi kehidupan nyata dalam masyarakat (konteksual)
2. Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan
3. Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru dalam situasi
dan kondisi yang berbeda
4. Teori administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan dasar untuk
mengembangkan teori administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik
5. Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan meramalkan
fenomena yang dihadapi
6. Bersifat multi disipliner dan multi dimensional (komprehensif)
Berpedoman dari persyaratan diatas, maka Ferrel Heady (1966) menyarankan
adanya :
a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/ tradisional
b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan kepada
kepentingan pembangunan
c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-model
pengembangan
d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat middle range
theory.
Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan adanya pergeseran pendekatan
metodologi penelitian administrasi (khususnya yang berkaitan dengan
pengamatan fenomena pelayanan publik) dari :

(1) Pendekatan normatif ke pendekatan empiris
(2) Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik
(3) Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan
(4) Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior (pendekatan analogi).
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka diharapkan studi administrasi
negara:
(a) Mampu menciptakan konsep dan teori-teori baru yang dapat menerobos
batas-batas kebudayaan,
(b) Mampu membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-hukum dan
peraturan-peraturan yang ada sebagai landasan perumusan keputusan dan
kebijaksanaan (pelayanan publik),
(c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian fakta dan data dilapangan.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil apabila administrasi negara ingin
menemukan identitas teori-teori yang berkaitan dengan pelayanan publik, maka
perlu adanya kegiatan studi komparatif administrasi negara dalam bidang
pelayanan publik dan meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan
yang berkaitan dengan proses perumusan kebijakan pelayanan publik, proses
implementasi pelayanan publik dan evaluasi produk pelayanan publik.

C. Budaya Birokrasi Pelayanan Publik
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya organisasi
birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan
publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi ?
Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo
dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta
perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis.
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilainilai
bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam
organisasi yang bersangkutan ( Sondang P.Siagian,1995). Oleh karena itu budaya
organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota
organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan
organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota
organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara
spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah
membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri
para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi
dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas
organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai
hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.

Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku
para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu
menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain;
mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota
organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada
komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan
kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme
pembuatan makna dan simbul-simbul kendali perilaku para anggota organisasi.
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi),
keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain,
apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah
berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh
organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh
karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab
kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya,
tugas desentralisasi) adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa
sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit
lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan
kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang
pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik. Demikian juga Malcolm Walters
(1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini
disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan
pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat
hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan
budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok
untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya
privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis);
pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat
fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu);
sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan
terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis,
anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Masalahnya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong dalam
kategori budaya masyarakat yang mana ? Ini harus dipahami ! ( Penulis,
cenderung mengatakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah memasuki
era budaya masyarakat egaliter; oleh karenanya bentuk pelayanan publik yang
cocok adalah model pelayanan cepat dan terbuka). Menurut Grabiel A.Almond
(1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau
disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenagatenaga
kerja (birokrasi) yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara
tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara
umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan

diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang
benar,menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan
terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya,
proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi
masyarakat sebagai basis utamanya.

D. Efektivitas Pelayanan Publik
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena
senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki
keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan
publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika
pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi
terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah,
maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain.
Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah
bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai
ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai programprogram
pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi
dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugastugas
umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali
diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila
masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal
pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi
seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan
perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan
pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan
pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan
organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan
antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani
(termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)

c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur
kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni :
pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan
kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada
sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi
yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya
lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.
Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrrasi
yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada
masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada
tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan
lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh
masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya
sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek
persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau
aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas
kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency
atau coherency).

E. Tolok Ukur Kualitas Pelayanan Publik
Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang
terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi
pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan
(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan
(3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas
dan level menengah ( prinsip rasionalisasi)
(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan
Mencermati pandangan ini, maka dalam kontek pelayanan publik dapat digaris
bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada
dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan
demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji
dua aspek pokok yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi
(pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan
oleh masyarakat pelanggan.
Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip pokok yang harus
dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu :
(a) Prinsip Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau

secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak
dan prosedur pelayanan)
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus
menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan
yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses
pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami
secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan
kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan
(e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus
dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan
ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan
yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada
masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu
kebijaksanaan Nomer.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan
Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai
berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu
ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat
yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam
hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis
maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung
jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan
tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang
dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi
masyarakat
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan,
persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu
penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui
dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada halhal
yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk

pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus
ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa
pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan
diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi
seluruh lapisan masyarakat
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat
diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu
dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya
harus disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari
aparat pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan
dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan. Hal ini
dimungkinkan agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau
kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam
mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu : (1) Bisa jadi pihak
aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani sama-sama
dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge),
(2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan
mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang
dilayani (producer knowledge), (3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani
lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang
diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan (4)
Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang
dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi
kualitas pelayanan publik (mutual Ignorance). Dalam hal ini teori analisa yang
dapat dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu
bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat
representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred
Luthans, 1995).
Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis untuk menentukan tolok ukur
kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Suatu
misal Richard M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang
berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara
lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan, variabel
karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik kebijaksanaan, dan variabel
parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi pendapat ini, maka Sofian
Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya
kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:

(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari
penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang
kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan
tersebut oleh pemerintah
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi
kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara
lingkungan dengan organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan
publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan
budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar
peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala pelayanan
publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan adanya langkahlangkah
strategis antara lain :
Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya
sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis;
Kedua : Membentuk asosiasi/perserikatan kerja dalam pelayanan publik;
Ketiga: Meningkatkan keterlibatan masyarakat , baik dalam perumusan kebijakan
pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam
monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat : Adanya
kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan publik
menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian);Kelima : Menyadari
adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik; Keenam:
Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan
kerja bagi aparat pelayanan publik; Ketujuh: Pentingnya perhatian terhadap
faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat memenuhi
kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan: Pentingnya
faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan:
Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik; Kesepuluh : Adanya saling
pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak
aparat birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan
untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya
dalam pelayanan publik.

F. Kesimpulan
Secara teoritis, perubahan-perubahan komitmen dalam organisasi akan
dikuti oleh kegiatan pengembangan organisasi yang langsung maupun tidak
langsung merubah pula tradisi-tradisi budaya kerja organisasi yang sudah ada.
Keterkaitan semacam ini berhubungan erat dengan perubahan-perubahan
struktural, fungsional, finansial, personalia, teknikal maupun perubahan10
perubahan dibidang fisikal (tata ruang pelayanan kerja) yang memang
diperlukan dalam proses perubahan tersebut. Perubahan dalam organisasi
(birokrasi) apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru
akan menimbulkan dampak negatif (dis-consequenses) daripada dampak
positifnya (Eu-consequenses). Oleh karena itu bagi administrator publik
perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut saja,
perubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan kultur organisasi dalam
kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan disiasati sedini mungkin secara
cermat dan bijaksana (wait and see) sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab
bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh
perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, finansial
dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya bersifat sementara
dan semu (pseudo) karena mengandung unsur keterpaksaan dan dipaksa oleh
tuntutan reformasi massa. Jika hal ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud
dengan reformasi administrasi (birokrasi) akan bersifat retorika belaka dan tidak
autonomous (murni).

Tidak ada komentar: